BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada era globalisasi
dewasa ini, manusia harus dituntut untuk lebih cerdas baik dari segi wawasan
intelektual, spiritual, maupun sosial. Seiring semakin canggihnya teknologi,
manusia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan. Sehingga harus
mengikuti jenjang pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Termasuk juga wanita,
tidak hanya duduk dirumah saja. Tetapi wanita dituntut unuk lebih cerdas,
sehingga harus menuntu ilmu sapai jenjang tinggi juga. Namun bagaimana dengan
syariat agama yang mengharuskan seorang wanita bepergian harus dengan muslim.
Untuk lebih lanjutnya
akan kami uraikan didalam makalah yang berjudul wanita yang keluar rumah untuk
menuntut ilmu tanpa mahram.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan Mahram?
2.
Bagaimana Hukum
Wanita yang Bepergian Tanpa Mahram untuk Menuntut Ilmu?
3.
Mengapa Islam
Menuntut Agar Wanita yang Bepergian Harus didampingi Mahram?
C.
Tujuan
1.
Untuk Mengetahui
Pengertian Mahram
2.
Untuk Mengetahui
Hukum Wanita yang Bepergian Tanpa Mahram untuk Menuntut Ilmu
3.
Untuk Mengetahui
Alasan Islam Menuntut Agar Wanita yang Bepergian Harus didampingi Mahram
BAB II
HUKUM
WANITA KELUAR RUMAH UNTUK MENUNTUT ILMU TANPA MAHRAM
A.
Pengertian Mahram
Mahram bagi wanita adalah orang yang haram menikah
dengannya, karena nasab, pernikahan atau susuan.
a.
Mahram karena
nasab seperti: anak laki-lakinya, saudara laki-lakinya, bapaknya, paman dari
bapaknya, paman dari ibunya, kakeknya, anak saudara laki-lakinya
(keponakannya), anak saudara perempuannya (keponakannya), sama saja baik
saudara seayah seibu, saudara seayah, atau seibu.
b.
Mahram karena
pernikahan seperti: suami putrinya (menantu), suami cucu dari putrinya (terus
keturunannya kebawah), putra suaminya (anak tiri), anak-anak dari putra
suaminya, anak-anak dari putri suaminya (terus kebawah), baik dari istri
sebelum dia, sesudah dia atau bersamanya, ayah atau kakek suami (terus ke
atas), baik dari pihak ayah suami atau ibu suami.
c.
Mahram karena
susuan sama seperti mahram karena nasab berdasarkan sabda rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
“Penyusuan itu
mengharamkan sebagaimana yang diharamkan karena nasab”. (HR Imam Bukhari,
Muslim, Abu Daud, Nasa’I Ibnu Maajad dan Ahmad)
B.
Alasan wanita harus beserta dengan Mahram
Islam menjaga wanita
Muslimah dari setiap bahaya yang akan menimpanya dan ingin menjaga
kehormatannya dengan berbagai cara dan bermacam-macam wasilah guna memberikan
manfaat baginya baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itulah disyaratkan
mahram dalam safar bagi wanita Muslimah tersebut. Dan ini adalah perhatian
syariat Islam yang lurus kepada kaum wanita dan perkara ini tidaklah membawa
mereka kepada jurang kebinasaan atau kesempitan.
Keluarnya wanita
sendirian akan memberikan dampak yang negatif bagi kaum laki-laki maupun bagi
dirinya sendiri, lebih-lebih bila ia keluar dengan ber-tabarruj, menampakkan
perhiasan bukan pada mahramnya. Maka syariat melarang mereka untuk banyak
keluar rumah tanpa ‘uzur yang syar’i, memerintahkan kepada mereka untuk taat
kepada Allah dan Rasul-Nya dan agar mereka menjaga dirinya, agamanya, dan
kehormatannya dari kehinaan dan kerendahan yang akan menimpanya.
Rasulullah saw bersabda
:
“Sesungguhnya wanita itu adalah aurat, maka apabila keluar, syaithan
akan menghiasinya.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dan At Tirmidzi dan
dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil jilid I)
Hadits Rasulullah saw di atas merupakan peringatan
kepada kaum wanita agar tidak banyak keluar rumah tanpa disertai mahram. Islam
melarang mereka agar tidak terjerumus pada perbuatan-perbuatan yang diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu sebab-sebab yang akan mengantarkan pada
perbuatan zina.
C.
Hukum Wanita yang Melakukan Safar
Terdapat banyak hadits yang sahih dan tegas yang
menunjukkan bahwa seorang wanita
itu dilarang safar tanpa mahram. Itu di antara bukti menunjukkan betapa
sempurna dan agungnya ajaran Islam. Islam menjaga kehormatan wanita, memuliakan
dan memperhatikan wanita serta sangat antusias untuk menjaga, melindungi dan
menyelamatkan wanita dari berbagai sebab penyimpangan akhlak dan kerusakan
moral baik kerusakan yang melanda wanita ataupun kerusakan karena sebab wanita.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seorang wanita itu tidak boleh bersafar melainkan bersama mahram dan tidak
boleh menemui tamu laki-laki kecuali bersama mahram”.
Ada seorang laki-laki yang bertanya, “Ya
Rasulullah, aku ingin ikut bersama pasukan perang ini sedangkan istriku ingin
menunaikan ibadah haji”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berangkatlah
haji bersama istrimu”.
Berdasarkan penjelasan di atas, seorang muslimah
tidak diperbolehkan bersafar untuk menuntut ilmu tanpa mahram. Solusinya untuk mendapatkan ilmu agama yang
wajib atas dirinya seorang muslimah hendaknya memanfaatkan berbagai sarana yang
memungkinkan semisal mendengarkan kaset atau CD kajian, bertanya
kepada ustadz via telepon dan berbagai sarana lain yang Allah mudahkan di zaman
ini.
D.
Hukum Wanita
Safar untuk Menuntut Ilmu
Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafidzahullah ditanya
:
السؤال: هل يجوز للمرأة أن تسافر من أجل
طلب العلم حيث لا تجد حلقة علم في منطقتها؟
Apakah seorang wanita boleh melakukan safar dalam
rangka menuntut ilmu, karena tidak didapati majlis ilmu di daerahnya?
Jawaban Syaikh hafidzahullah :
الجواب: تحصيل العلم في هذا الزمان صار
متيسراً بحيث أن المرأة وغير المرأة يستطيعان طلبه في أماكنهما، عن طريق الأشرطة،
وعن طريق إذاعة القرآن الكريم، وعن طريق الكتب النافعة، فمن يريد أن يحصل العلم
فهو يحصله بدون سفر.
Cara memperolah ilmu pada zaman sekarang ini menjadi
mudah, karena seorang wanita dan laki-laki dapat memperoleh ilmu di tempatnya,
yaitu bisa dari rekaman kaset, radio dakwah, buku-buku dan bermanfaat. Maka
siapa saja yang ingin memperoleh ilmu dapat meraihnya tanpa harus safar.[1]
E.
Hukum Belajar ke
Negeri Kafir Bagi Wanita
Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin rahimahullah mendapat
pertanyaan dari seorang wanita, “Aku ingin menyelesaikan studiku di salah satu
negara Eropa. Tidak ada cara lain selain aku bepergian ke sana sendirian dan
tanpa ditemani mahrom. Aku sendiri tahu bahwa nantinya aku akan tinggal di
asrama yang khusus wanita sehingga tidak mungkin ada ikhtilath (campur baur
dengan kaum pria). Apa hukum hal ini?”
Syaikh rahimahullah menjawab, nasehat
kami yang pertama adalah hendaknya dia tidak bersafar ke negeri kafir seperti
Eropa karena hal ini dapat membahayakan agamanya.Nasehat kami yang kedua,
seharusnya diketahui bahwa sebaik-baik tempat wanita adalah di rumah. Tugas
wanita adalah mengabdi pada suami dan berkewajiban mengurus anak-anaknya. Nasehat
kami yang ketiga, ketahuilah bahwa
seorang wanita dilarang bersafar tanpa mahrom kecuali jika dalam keadaan
darurat. Atau ia bersafar tersebut dengan diantarkan oleh mahromnya ke
pesawat, lalu diwakilkan kepada kerabat atau kepada saudaranya yang dapat
memegang amanat (terpercaya) sehingga ia bisa mengantarkan pada orang yang
benar-benar amanat nantinya (di sana, di tempat ia belajar).
Dalam kondisi ini jika memang dalam kondisi terpaksa
untuk menyelesaikan studi (di Eropa), maka boleh saja safar ke sana. Namun
hendaklah ketika safar ia ditemani oleh orang yang benar-benar amanat di
pesawat dan sudah dipastikan tidak memberikan bahaya. Juga di negeri tempat ia
belajar dipastikan pula wanita tersebut terlepas dari tindak bahaya dan
kerusakan.[2]
Dari fatwa ini Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin memberikan
syarat utama seseorang boleh belajar di Eropa atau negeri kafir lainnya
(seperti Amerika, Jepang atau Korea):
Pertama:
Ia yakin akan terlepas dari bahaya, terutama yang membahayakan agamanya selama
ia di perjalanan dan selama ia belajar di sana.
Dari sini, maka seseorang tetap wajib menjaga shalat
lima waktu, shalat jama’ah bagi pria, jilbab bagi wanita, berjenggot bagi pria,
juga menjauhkan diri dari makanan yang haram dan kewajiban lainnya. Namun
sangat sulit sekali untuk shalat di sana, apalagi shalat secara berjama’ah.
Lebih prihatin lagi adalah dalam masalah mencari makanan yang halal.
Kedua:
Untuk selamat dari hal ini, tentu saja harus memiliki bekal ilmu agama yang
cukup dan kesabaran untuk membentangi diri dari berbagai syahwat (perang nafsu
bejat) dan syubhat (perang pemikiran).
Namun jarang sekali yang punya bekal ini ketika
berangkat untuk melanjutkan kuliah ke negeri kafir, bahkan sebagian mereka
adalah orang yang jauh dari Islam sehingga semakin rusak sepulang ia dari
negeri kafir.
Ketiga:
Dibolehkan belajar di sana jika dalam keadaan darurat.
Ini berarti jika ilmu tersebut masih didapati di
negeri muslim atau di negerinya sendiri dengan kualitas yang tidak kalah
jauhnya, maka sudah seharusnya ia tidak belajar di negeri kafir. Jika belajar
di sana adalah darurat, maka tentu saja berada di sana sesuai kebutuhan dan
cuma sekadarnya saja. Jika sudah selesai kebutuhannya, maka dia harus kembali
ke negeri kaum muslimin. Ada sebuah kaedah fiqhiyah:
“Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang sebenarnya
terlarang, dalam keadaan
bahaya semacam itu dibolehkan, namun sesuai kadarnya”.
Catatan penting, Syaikh Ibnu Jibrin memberikan
catatan bahwa yang dibolehkan bagi wanita dalam keadaan terpaksa di sini adalah
apabila sehari semalam (artinya, tidak boleh lebih dari itu). Karena jika lebih
dari sehari semalam atau lebih lama dari itu, tentu saja akan memberikan dampak
bahaya lebih besar. Alasan beliau adalah hadits,
لا
يحل لامرأة تُؤمن بالله واليوم الآخر أن تُسافر مسيرة يوم وليلة إلا مع ذي محرم
“Tidak
boleh bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bersafar
sejauh perjalanan sehari semalam kecuali disertai dengan mahromnya.” (HR. Bukhari no. 1088 dan Muslim no. 1339).
Keempat:
Seorang wanita yang hendak pergi ke luar negeri hendaklah ditemani mahramnya.
Ini syarat yang mesti diperhatikan sebagaiman
disebutkan dalam hadits,
“Tidak
boleh seorang wanita bersafar kecuali bersama mahromnya. Tidak boleh berkhalwat
(berdua-duaan) dengan wanita kecuali bersama mahromnya.” Kemudian ada seseorang
yang berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin keluar mengikuti peperangan ini dan
itu. Namun istriku ingin berhaji.” Beliau bersabda, “Lebih baik engkau berhaji
bersama istrimu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma)
F.
Hukum Kuliah di
Fakultas Kedokteran Bagi Muslimah
س: عندي أخت متخرجة من الثانوي، وتريد أن
تدرس في كلية الطب وتعمل طبيبة. ما الحكم الشرعي في ذلك؛ لأني أمانع من دخولها
الطب؟
Pertanyaan,
“Aku memiliki adik wanita yang baru saja lulus SMA. Dia ingin kuliah di
fakultas kedokteran lalu bekerja sebagai dokter wanita. Apa hukum agama untuk
keinginan adikku tersebut karena aku melarangnya untuk masuk di fakultas
kedokteran?”
ج:
الحمد
له
أما بعد .. فلا بأس من دخولها كلية الطب؛ لتكون سببا في علاج النساء حفظا للعورات ومنعا
للاختلاط. والله أعلم.
Jawaban Syaikh Sulaiman al Majid :[anggota majelis syuro KSA], “Tidaklah
mengapa bagi muslimah untuk masuk di fakultas kedokteran sehingga setelah
selesai dia bisa mengobati sesama wanita. Dengan hal tersebut dia berperan
untuk menjaga aurat para wanita dan campur baur antara pasien wanita dan dokter
laki-laki”.[3]
G.
Menuntut Ilmu
Syar’i (Agama) Bagi Muslimah
Apabila seorang wanita melakukan safar tanpa mahram maka hukumnya haram berdasarkan
hadits riwayat Bukhari Muslim,:
“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada
Allah dan hari akhir untuk melakukan safar perjalanan satu hari dan satu malam
kecuali bersama mahramnya”.
Kata ‘imraati’ dalam hadits ini nakirah dan jatuh
setelah ‘la nahiyah’ (larangan) yang berarti umum. Maksud hadits ini adalah
setiap wanita siapapun orangnya, bagaimanapun keadaannya, kapanpun, dimanapun
dan segala jenis safar baik safar ketaatan, rekreasi dan safar mubah.
Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama selain
Syafi’iyah, mereka berpedoman dengan argumen yang amat rapuh untuk
memperbolehkan wanita safar tanpa mahram bersama wanita sesamanya. Seandainya
Nabi membawakan hadits diatas dihadapan kita semua dan kitapun mendengarnya
dengan telinga kita kemudian kita ingin berkilah, apakah yang akan kita lakukan
pada beliau?! Kita tidak boleh berkilah. Kewajiban kita hanya mengatakan ‘Kami
mengdengar dan taat’.
Adapun apabila seorang wanita tadi safar bersama mahramnya, tinggal di tempat
yang aman, tidak melakukan safar kecuali bersama mahramnya, tidak campur
baur dengan laki-laki, untuk menuntut ilmu syar’i dan menjauhi fitnah, maka hal
itu diperbolehkan karena termasuk kewajiban wanita adalah menuntut ilmu.
Para sahabat dahulu juga pergi ke rumah-rumah para
istri Nabi untuk masalah-masalah penting dan mereka juga belajar kepada para
sahabat wanita, bahkan imam Az-Zarkasyi menulis sebuah kitab yang tercetak
berjudul ‘Al-Ijabah Lima Istadrakathu Sayyidah Aisyah ‘Ala Shahabah’ (Beberapa
kritikan Aisyah kepada sahabat).
Demikian pula kitab Shahih Bukhari, di kalangan
orang-orang belakangan, sanadnya bersumber dari Karimah Al-Marwaziyyah, dimana
para ulama abad kedelapan, kesembilan dan kesepuluh mengambil sanad Shahih
Bukhari dari Karimah. Nabi bersabda,
“Sesungguhnya
wanita itu saudara lelaki”
Dan
Nabi juga bersabda.
“Menuntut
ilmu itu wajib bagi setiap muslim”
Hadits ini meliputi muslimah juga, sekalipun
tambahan lafadz ‘muslimah’ dalam hadits diatas tidak ada dari Nabi[4].
Ada seorang wanita pada abad kesebelas bernama
Wiqayah, seorang wanita pintar dari Maghrib. Para ulama Maghrib apabila
mengalami kesulitan, mereka mengatakan : ‘Marilah kita pergi ke Wiqayah karena
sorbannya lebih baik daripada sorban-sorban kita’. Akhirnya, merekapun belajar
dan meminta fatwa padanya.
Dan termasuk keajaiban sejarah tidak ada seorang
perawi wanita satupun yang berdusta pada Rasulullah. Seluruh ulama yang menulis
tentang para perawi pendusta tidak ada yang menyebutkan seorangpun dari wanita
pendusta. Adapun kaum laki-laki, maka betapa banyak kitab-kitab yang berisi
tentang para pendusta dari kalangan mereka.
Maka seorang wanita apabila anda membimbingnya
kejalan yang baik, mereka akan menjadi baik dan pahalanya bagi kedua orang
tuanya sampai hari kiamat. Namun bagi orang tua hendaknya tetap menjaga hukum
syar’i. Dan tempat yang paling baik untuk menimba ilmu bagi wanita adalah
seorang suami yang shalih, penuntut ilmu dan bertaqwa kepada Allah. Oleh karena
itu, bagi orang tua hendaknya berupaya memilihkan suami terbaik bagi anaknya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari hasil paparan makalah diatas tentang hukum
wanita menuntut ilmu tanpa mahram yaitu banyak pendapat ulama. Namun pada
asalnya, wanita bepergian harus didampingi mahramnya, kendatipun untuk menuntut
ilmu. Keluarnya wanita sendirian akan memberikan dampak yang negatif bagi kaum
laki-laki maupun bagi dirinya sendiri, lebih-lebih bila ia keluar dengan
ber-tabarruj, menampakkan perhiasan bukan pada mahramnya. Maka syariat melarang
mereka untuk banyak keluar rumah tanpa ‘uzur yang syar’i, memerintahkan kepada
mereka untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan agar mereka menjaga dirinya,
agamanya, dan kehormatannya dari kehinaan dan kerendahan yang akan menimpanya.
Kalaupun harus pergi meskipun untuk menuntut ilmu
hanya ilmu tertentu , misalnya untuk menuntut ilmu fardhu ‘ain maupun fardhu
kifayah. Yang perlu kita ketahui, setiap yang di larang agama itu, pasti karena
ada kemudharatannya yang lebih besar disbanding dengan maslahat. Walaupun
fenomena sekarang banyak wanita yang menuntut ilmu yang tidak didampingi
mahram, kita seharusnya banyak mempertebal iman, sehingga kita dapat
terbentengi dari perbuatan maksiat.
Hanya ini pemaparan kami, apabila banyak kesalahan
itu sebagai langkah kami didalam belajar untuk mencapai kesuksesan.
DAFTAR PUSTAKA
As-Sakhawi, Imam. Al-Maqashidul Hasanah
Al-Albani.
Takhrij Musykilaatil Faqr
[4] Al-Maqashidul
Hasanah hal.227 oleh Imam As-Sakhawi dan Takhrij Musykilaatil Faqr
hal. 48-62 oleh Al-Albani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar