Selasa, 07 Juni 2016

Hukum Wanita Keluar Rumah Untuk Menuntut Ilmu Tanpa Mahram

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada era globalisasi dewasa ini, manusia harus dituntut untuk lebih cerdas baik dari segi wawasan intelektual, spiritual, maupun sosial. Seiring semakin canggihnya teknologi, manusia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi masa depan. Sehingga harus mengikuti jenjang pendidikan sampai ke perguruan tinggi. Termasuk juga wanita, tidak hanya duduk dirumah saja. Tetapi wanita dituntut unuk lebih cerdas, sehingga harus menuntu ilmu sapai jenjang tinggi juga. Namun bagaimana dengan syariat agama yang mengharuskan seorang wanita bepergian harus dengan muslim.
Untuk lebih lanjutnya akan kami uraikan didalam makalah yang berjudul wanita yang keluar rumah untuk menuntut ilmu tanpa mahram.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Mahram?
2.      Bagaimana Hukum Wanita yang Bepergian Tanpa Mahram untuk Menuntut Ilmu?
3.      Mengapa Islam Menuntut Agar Wanita yang Bepergian Harus didampingi Mahram?

C.    Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Mahram
2.      Untuk Mengetahui Hukum Wanita yang Bepergian Tanpa Mahram untuk Menuntut Ilmu
3.      Untuk Mengetahui Alasan Islam Menuntut Agar Wanita yang Bepergian Harus didampingi Mahram






BAB II
HUKUM WANITA KELUAR RUMAH UNTUK MENUNTUT ILMU TANPA MAHRAM

A.    Pengertian Mahram
Mahram bagi wanita adalah orang yang haram menikah dengannya, karena nasab, pernikahan atau susuan.
a.       Mahram karena nasab seperti: anak laki-lakinya, saudara laki-lakinya, bapaknya, paman dari bapaknya, paman dari ibunya, kakeknya, anak saudara laki-lakinya (keponakannya), anak saudara perempuannya (keponakannya), sama saja baik saudara seayah seibu, saudara seayah, atau seibu.
b.      Mahram karena pernikahan seperti: suami putrinya (menantu), suami cucu dari putrinya (terus keturunannya kebawah), putra suaminya (anak tiri), anak-anak dari putra suaminya, anak-anak dari putri suaminya (terus kebawah), baik dari istri sebelum dia, sesudah dia atau bersamanya, ayah atau kakek suami (terus ke atas), baik dari pihak ayah suami atau ibu suami.
c.       Mahram karena susuan sama seperti mahram karena nasab berdasarkan sabda rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
“Penyusuan itu mengharamkan sebagaimana yang diharamkan karena nasab”. (HR Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’I Ibnu Maajad dan Ahmad)
B.     Alasan wanita harus beserta dengan Mahram
Islam menjaga wanita Muslimah dari setiap bahaya yang akan menimpanya dan ingin menjaga kehormatannya dengan berbagai cara dan bermacam-macam wasilah guna memberikan manfaat baginya baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itulah disyaratkan mahram dalam safar bagi wanita Muslimah tersebut. Dan ini adalah perhatian syariat Islam yang lurus kepada kaum wanita dan perkara ini tidaklah membawa mereka kepada jurang kebinasaan atau kesempitan.
Keluarnya wanita sendirian akan memberikan dampak yang negatif bagi kaum laki-laki maupun bagi dirinya sendiri, lebih-lebih bila ia keluar dengan ber-tabarruj, menampakkan perhiasan bukan pada mahramnya. Maka syariat melarang mereka untuk banyak keluar rumah tanpa ‘uzur yang syar’i, memerintahkan kepada mereka untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan agar mereka menjaga dirinya, agamanya, dan kehormatannya dari kehinaan dan kerendahan yang akan menimpanya.
Rasulullah saw bersabda :
Sesungguhnya wanita itu adalah aurat, maka apabila keluar, syaithan akan menghiasinya.” (Dikeluarkan oleh Al Bazzar dan At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil jilid I)
Hadits Rasulullah saw di atas merupakan peringatan kepada kaum wanita agar tidak banyak keluar rumah tanpa disertai mahram. Islam melarang mereka agar tidak terjerumus pada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu sebab-sebab yang akan mengantarkan pada perbuatan zina.

C.    Hukum Wanita yang Melakukan Safar
Terdapat banyak hadits yang sahih dan tegas yang menunjukkan bahwa seorang wanita itu dilarang safar tanpa mahram. Itu di antara bukti menunjukkan betapa sempurna dan agungnya ajaran Islam. Islam menjaga kehormatan wanita, memuliakan dan memperhatikan wanita serta sangat antusias untuk menjaga, melindungi dan menyelamatkan wanita dari berbagai sebab penyimpangan akhlak dan kerusakan moral baik kerusakan yang melanda wanita ataupun kerusakan karena sebab wanita.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang wanita itu tidak boleh bersafar melainkan bersama mahram dan tidak boleh menemui tamu laki-laki kecuali bersama mahram”.
Ada seorang laki-laki yang bertanya, “Ya Rasulullah, aku ingin ikut bersama pasukan perang ini sedangkan istriku ingin menunaikan ibadah haji”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berangkatlah haji bersama istrimu”.
Berdasarkan penjelasan di atas, seorang muslimah tidak diperbolehkan bersafar untuk menuntut ilmu tanpa mahram. Solusinya untuk mendapatkan ilmu agama yang wajib atas dirinya seorang muslimah hendaknya memanfaatkan berbagai sarana yang memungkinkan semisal mendengarkan kaset atau CD kajian, bertanya kepada ustadz via telepon dan berbagai sarana lain yang Allah mudahkan di zaman ini.
D.    Hukum Wanita Safar untuk Menuntut Ilmu
Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad hafidzahullah ditanya :
السؤال: هل يجوز للمرأة أن تسافر من أجل طلب العلم حيث لا تجد حلقة علم في منطقتها؟
Apakah seorang wanita boleh melakukan safar dalam rangka menuntut ilmu, karena tidak didapati majlis ilmu di daerahnya?
Jawaban Syaikh hafidzahullah :
الجواب: تحصيل العلم في هذا الزمان صار متيسراً بحيث أن المرأة وغير المرأة يستطيعان طلبه في أماكنهما، عن طريق الأشرطة، وعن طريق إذاعة القرآن الكريم، وعن طريق الكتب النافعة، فمن يريد أن يحصل العلم فهو يحصله بدون سفر.
Cara memperolah ilmu pada zaman sekarang ini menjadi mudah, karena seorang wanita dan laki-laki dapat memperoleh ilmu di tempatnya, yaitu bisa dari rekaman kaset, radio dakwah, buku-buku dan bermanfaat. Maka siapa saja yang ingin memperoleh ilmu dapat meraihnya tanpa harus safar.[1]






E.     Hukum Belajar ke Negeri Kafir Bagi Wanita
Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin rahimahullah mendapat pertanyaan dari seorang wanita, “Aku ingin menyelesaikan studiku di salah satu negara Eropa. Tidak ada cara lain selain aku bepergian ke sana sendirian dan tanpa ditemani mahrom. Aku sendiri tahu bahwa nantinya aku akan tinggal di asrama yang khusus wanita sehingga tidak mungkin ada ikhtilath (campur baur dengan kaum pria). Apa hukum hal ini?”
Syaikh rahimahullah menjawab, nasehat kami yang pertama adalah hendaknya dia tidak bersafar ke negeri kafir seperti Eropa karena hal ini dapat membahayakan agamanya.Nasehat kami yang kedua, seharusnya diketahui bahwa sebaik-baik tempat wanita adalah di rumah. Tugas wanita adalah mengabdi pada suami dan berkewajiban mengurus anak-anaknya. Nasehat kami yang ketiga, ketahuilah bahwa seorang wanita dilarang bersafar tanpa mahrom kecuali jika dalam keadaan darurat. Atau ia bersafar tersebut dengan diantarkan oleh mahromnya ke pesawat, lalu diwakilkan kepada kerabat atau kepada saudaranya yang dapat memegang amanat (terpercaya) sehingga ia bisa mengantarkan pada orang yang benar-benar amanat nantinya (di sana, di tempat ia belajar).
Dalam kondisi ini jika memang dalam kondisi terpaksa untuk menyelesaikan studi (di Eropa), maka  boleh saja safar ke sana. Namun hendaklah ketika safar ia ditemani oleh orang yang benar-benar amanat di pesawat dan sudah dipastikan tidak memberikan bahaya. Juga di negeri tempat ia belajar dipastikan pula wanita tersebut terlepas dari tindak bahaya dan kerusakan.[2]
Dari fatwa ini Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin memberikan syarat utama seseorang boleh belajar di Eropa atau negeri kafir lainnya (seperti Amerika, Jepang atau Korea):
Pertama: Ia yakin akan terlepas dari bahaya, terutama yang membahayakan agamanya selama ia di perjalanan dan selama ia belajar di sana.
Dari sini, maka seseorang tetap wajib menjaga shalat lima waktu, shalat jama’ah bagi pria, jilbab bagi wanita, berjenggot bagi pria, juga menjauhkan diri dari makanan yang haram dan kewajiban lainnya. Namun sangat sulit sekali untuk shalat di sana, apalagi shalat secara berjama’ah. Lebih prihatin lagi adalah dalam masalah mencari makanan yang halal.
Kedua: Untuk selamat dari hal ini, tentu saja harus memiliki bekal ilmu agama yang cukup dan kesabaran untuk membentangi diri dari berbagai syahwat (perang nafsu bejat) dan syubhat (perang pemikiran).
Namun jarang sekali yang punya bekal ini ketika berangkat untuk melanjutkan kuliah ke negeri kafir, bahkan sebagian mereka adalah orang yang jauh dari Islam sehingga semakin rusak sepulang ia dari negeri kafir.
Ketiga: Dibolehkan belajar di sana jika dalam keadaan darurat.
Ini berarti jika ilmu tersebut masih didapati di negeri muslim atau di negerinya sendiri dengan kualitas yang tidak kalah jauhnya, maka sudah seharusnya ia tidak belajar di negeri kafir. Jika belajar di sana adalah darurat, maka tentu saja berada di sana sesuai kebutuhan dan cuma sekadarnya saja. Jika sudah selesai kebutuhannya, maka dia harus kembali ke negeri kaum muslimin. Ada sebuah kaedah fiqhiyah:
“Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang sebenarnya terlarang, dalam keadaan bahaya semacam itu dibolehkan, namun sesuai kadarnya”.
Catatan penting, Syaikh Ibnu Jibrin memberikan catatan bahwa yang dibolehkan bagi wanita dalam keadaan terpaksa di sini adalah apabila sehari semalam (artinya, tidak boleh lebih dari itu). Karena jika lebih dari sehari semalam atau lebih lama dari itu, tentu saja akan memberikan dampak bahaya lebih besar. Alasan beliau adalah hadits,
لا يحل لامرأة تُؤمن بالله واليوم الآخر أن تُسافر مسيرة يوم وليلة إلا مع ذي محرم
“Tidak boleh bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bersafar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali disertai dengan mahromnya.” (HR. Bukhari no. 1088 dan Muslim no. 1339).


Keempat: Seorang wanita yang hendak pergi ke luar negeri hendaklah ditemani mahramnya.
Ini syarat yang mesti diperhatikan sebagaiman disebutkan dalam hadits,
 “Tidak boleh seorang wanita bersafar kecuali bersama mahromnya. Tidak boleh berkhalwat (berdua-duaan) dengan wanita kecuali bersama mahromnya.” Kemudian ada seseorang yang berkata, “Wahai Rasulullah, aku ingin keluar mengikuti peperangan ini dan itu. Namun istriku ingin berhaji.” Beliau bersabda, “Lebih baik engkau berhaji bersama istrimu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
F.     Hukum Kuliah di Fakultas Kedokteran Bagi Muslimah
س: عندي أخت متخرجة من الثانوي، وتريد أن تدرس في كلية الطب وتعمل طبيبة. ما الحكم الشرعي في ذلك؛ لأني أمانع من دخولها الطب؟
Pertanyaan, “Aku memiliki adik wanita yang baru saja lulus SMA. Dia ingin kuliah di fakultas kedokteran lalu bekerja sebagai dokter wanita. Apa hukum agama untuk keinginan adikku tersebut karena aku melarangnya untuk masuk di fakultas kedokteran?”
ج: الحمد
له أما بعد .. فلا بأس من دخولها كلية الطب؛ لتكون سببا في علاج النساء حفظا للعورات ومنعا للاختلاط. والله أعلم.
Jawaban Syaikh Sulaiman al Majid :[anggota majelis syuro KSA], “Tidaklah mengapa bagi muslimah untuk masuk di fakultas kedokteran sehingga setelah selesai dia bisa mengobati sesama wanita. Dengan hal tersebut dia berperan untuk menjaga aurat para wanita dan campur baur antara pasien wanita dan dokter laki-laki”.[3]




G.    Menuntut Ilmu Syar’i (Agama) Bagi Muslimah
            Apabila seorang wanita melakukan safar tanpa mahram maka hukumnya haram berdasarkan hadits riwayat Bukhari Muslim,:
 “Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk melakukan safar perjalanan satu hari dan satu malam kecuali bersama mahramnya”.
Kata ‘imraati’ dalam hadits ini nakirah dan jatuh setelah ‘la nahiyah’ (larangan) yang berarti umum. Maksud hadits ini adalah setiap wanita siapapun orangnya, bagaimanapun keadaannya, kapanpun, dimanapun dan segala jenis safar baik safar ketaatan, rekreasi dan safar mubah.
Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama selain Syafi’iyah, mereka berpedoman dengan argumen yang amat rapuh untuk memperbolehkan wanita safar tanpa mahram bersama wanita sesamanya. Seandainya Nabi membawakan hadits diatas dihadapan kita semua dan kitapun mendengarnya dengan telinga kita kemudian kita ingin berkilah, apakah yang akan kita lakukan pada beliau?! Kita tidak boleh berkilah. Kewajiban kita hanya mengatakan ‘Kami mengdengar dan taat’.
Adapun apabila seorang wanita tadi safar bersama mahramnya, tinggal di tempat yang aman, tidak melakukan safar kecuali bersama mahramnya, tidak campur baur dengan laki-laki, untuk menuntut ilmu syar’i dan menjauhi fitnah, maka hal itu diperbolehkan karena termasuk kewajiban wanita adalah menuntut ilmu.
Para sahabat dahulu juga pergi ke rumah-rumah para istri Nabi untuk masalah-masalah penting dan mereka juga belajar kepada para sahabat wanita, bahkan imam Az-Zarkasyi menulis sebuah kitab yang tercetak berjudul ‘Al-Ijabah Lima Istadrakathu Sayyidah Aisyah ‘Ala Shahabah’ (Beberapa kritikan Aisyah kepada sahabat).

Demikian pula kitab Shahih Bukhari, di kalangan orang-orang belakangan, sanadnya bersumber dari Karimah Al-Marwaziyyah, dimana para ulama abad kedelapan, kesembilan dan kesepuluh mengambil sanad Shahih Bukhari dari Karimah. Nabi bersabda,
 “Sesungguhnya wanita itu saudara lelaki
Dan Nabi juga bersabda.
 “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim
Hadits ini meliputi muslimah juga, sekalipun tambahan lafadz ‘muslimah’ dalam hadits diatas tidak ada dari Nabi[4].
Ada seorang wanita pada abad kesebelas bernama Wiqayah, seorang wanita pintar dari Maghrib. Para ulama Maghrib apabila mengalami kesulitan, mereka mengatakan : ‘Marilah kita pergi ke Wiqayah karena sorbannya lebih baik daripada sorban-sorban kita’. Akhirnya, merekapun belajar dan meminta fatwa padanya.
Dan termasuk keajaiban sejarah tidak ada seorang perawi wanita satupun yang berdusta pada Rasulullah. Seluruh ulama yang menulis tentang para perawi pendusta tidak ada yang menyebutkan seorangpun dari wanita pendusta. Adapun kaum laki-laki, maka betapa banyak kitab-kitab yang berisi tentang para pendusta dari kalangan mereka.
Maka seorang wanita apabila anda membimbingnya kejalan yang baik, mereka akan menjadi baik dan pahalanya bagi kedua orang tuanya sampai hari kiamat. Namun bagi orang tua hendaknya tetap menjaga hukum syar’i. Dan tempat yang paling baik untuk menimba ilmu bagi wanita adalah seorang suami yang shalih, penuntut ilmu dan bertaqwa kepada Allah. Oleh karena itu, bagi orang tua hendaknya berupaya memilihkan suami terbaik bagi anaknya.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari hasil paparan makalah diatas tentang hukum wanita menuntut ilmu tanpa mahram yaitu banyak pendapat ulama. Namun pada asalnya, wanita bepergian harus didampingi mahramnya, kendatipun untuk menuntut ilmu. Keluarnya wanita sendirian akan memberikan dampak yang negatif bagi kaum laki-laki maupun bagi dirinya sendiri, lebih-lebih bila ia keluar dengan ber-tabarruj, menampakkan perhiasan bukan pada mahramnya. Maka syariat melarang mereka untuk banyak keluar rumah tanpa ‘uzur yang syar’i, memerintahkan kepada mereka untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan agar mereka menjaga dirinya, agamanya, dan kehormatannya dari kehinaan dan kerendahan yang akan menimpanya.
Kalaupun harus pergi meskipun untuk menuntut ilmu hanya ilmu tertentu , misalnya untuk menuntut ilmu fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah. Yang perlu kita ketahui, setiap yang di larang agama itu, pasti karena ada kemudharatannya yang lebih besar disbanding dengan maslahat. Walaupun fenomena sekarang banyak wanita yang menuntut ilmu yang tidak didampingi mahram, kita seharusnya banyak mempertebal iman, sehingga kita dapat terbentengi dari perbuatan maksiat.
Hanya ini pemaparan kami, apabila banyak kesalahan itu sebagai langkah kami didalam belajar untuk mencapai kesuksesan.



DAFTAR PUSTAKA

As-Sakhawi, Imam. Al-Maqashidul Hasanah 
Al-Albani. Takhrij Musykilaatil Faqr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar